Konflik Spasial dalam Kawasan Warisan Budaya: Dinamika Candi Muaro Jambi di Tengah Ekspansi Industri Ekstraktif

Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M.AP**
Keberadaan situs Cagar Budaya Candi Muaro Jambi, yang secara historis merepresentasikan warisan peradaban Melayu-Buddha abad ke-7 hingga ke-13, kini menghadapi tekanan signifikan akibat ekspansi industri ekstraktif dan logistik energi fosil. Selama lebih dari satu dekade, praktik penumpukan (stockpile) batubara berlangsung secara masif di zona inti Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional (KCBN), mencakup wilayah Desa Muara Jambi, Tebat Patah, dan Kemingking Dalam. Situasi ini mencerminkan absennya penanganan isu strategis secara komprehensif dalam kerangka tata kelola pembangunan dan pelestarian budaya. Dalam kerangka kebijakan publik, isu strategis merujuk pada persoalan jangka panjang yang memiliki dampak sistemik, lintas sektor, dan menentukan arah serta keberlanjutan pembangunan (Bryson, 2011).
Ironisnya, meskipun situs ini telah dinominasikan sebagai Warisan Dunia UNESCO, kebijakan tata ruang dan perizinan justru menunjukkan dominasi logika sektoral dan orientasi ekonomi jangka pendek. Hal ini mengindikasikan kegagalan dalam menempatkan pelestarian budaya sebagai bagian dari visi pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana ditegaskan dalam Operational Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention (UNESCO, 2023), lanskap budaya yang utuh dan autentik merupakan elemen krusial yang tidak boleh dikompromikan. Dengan demikian, persoalan Candi Muaro Jambi bukan sekadar paradoks administratif, melainkan telah bertransformasi menjadi isu strategis yang mendesak untuk direspons secara serius dan lintas sektor.

Ketidakmampuan dalam mengelola isu strategis ini tidak dapat dilepaskan dari dominasi paradigma pembangunan yang berorientasi pada akumulasi kapital dan eksploitasi sumber daya alam. Dalam pendekatan ini, nilai intrinsik warisan budaya cenderung terpinggirkan. Harvey (2003), melalui konsep accumulation by dispossession, menjelaskan bagaimana ruang-ruang bernilai historis dan kultural dialihfungsikan demi kepentingan ekonomi tanpa memberikan ruang yang memadai bagi pelestarian. Hal ini tercermin dari beroperasinya perusahaan seperti PT Rakindo Unitrust Mandiri, PT Nan Riang, PT Tegas Guna Mandiri, PT Sinar Alam Permai (Wilmar Group), dan Thriveni Mining yang nyaris berdampingan langsung dengan Candi Teluk 1, Candi Teluk 2, dan lima menapo (struktur bata candi yang belum terekskavasi), sehingga mengancam integritas kawasan ( sumber: mongabay.co.id)
Krisis pelestarian ini turut diperparah oleh kecenderungan kebijakan yang sarat dengan short-termism, yaitu pendekatan yang mengedepankan keuntungan jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dan kultural dalam horizon waktu yang lebih panjang. Dalam konteks pengembangan budaya dan pariwisata, Thamrin Bachri, mantan Dirjen Pemasaran dan Kerjasama Luar Negeri, dalam diskusi pelestarian situs budaya dan pengembangan pariwisata berkelanjutan (2023), secara tegas mengingatkan bahwa kombinasi antara materialisme dan short-termism merupakan faktor destruktif bagi masa depan pariwisata. Pandangan ini sangat relevan dengan situasi Candi Muaro Jambi, di mana potensi wisata sejarah dan budaya yang seharusnya menjadi lokomotif ekonomi daerah justru dikalahkan oleh kepentingan sektoral industri tambang. Jika dibiarkan, pendekatan semacam ini berisiko menyebabkan degradasi nilai edukatif situs, mengikis hubungan emosional generasi muda terhadap warisan leluhur, serta mempersempit ruang dialog kebudayaan antar generasi. Dalam jangka panjang, kita tidak hanya kehilangan struktur fisik cagar budaya, tetapi juga kehilangan ruang imajinasi kolektif yang menjadi pengikat identitas dan kebangsaan.
Pentingnya pelestarian Candi Muaro Jambi tidak hanya bersandar pada nilai sejarah dan budayanya, tetapi juga telah terintegrasi dalam perencanaan strategis nasional. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2026, Candi Muaro Jambi ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Pariwisata Unggulan Provinsi Jambi. Penetapan ini menegaskan bahwa kawasan tersebut menjadi bagian integral dari agenda pembangunan ekonomi berbasis pariwisata dan budaya. Dengan demikian, keberadaan aktivitas industri ekstraktif di sekitar kawasan bukan hanya mengancam kelestarian warisan dunia, tetapi juga bertentangan dengan arah kebijakan pembangunan nasional yang mengedepankan penguatan sektor pariwisata unggulan berbasis kearifan lokal.
Lebih jauh lagi, posisi strategis Candi Muaro Jambi dalam pembangunan daerah dapat dikontekstualisasikan dalam kerangka Multi-Level Governance Provinsi Jambi 2026, sebagaimana tercermin dalam arah kebijakan nasional yang menjadikan Jambi sebagai penyangga bioindustri dan ketahanan energi kawasan Sumatera. Dalam kerangka ini, kawasan Muaro Jambi tidak hanya dikategorikan sebagai Kawasan Pertumbuhan, tetapi juga masuk dalam orbit Kawasan Komoditas Unggulan dan Kawasan Swasembada Energi. Tumpang tindih fungsi spasial ini memperlihatkan adanya potensi konflik tata ruang antara orientasi pelestarian budaya dan kepentingan ekonomi ekstraktif. Oleh karena itu, diperlukan formulasi kebijakan yang bersifat lintas sektor dan lintas level pemerintahan mulai dari pusat, provinsi, hingga desa, guna memastikan bahwa agenda pembangunan tidak mengorbankan nilai-nilai budaya yang telah diakui secara global. Konstelasi spasial dan kebijakan yang kompleks ini merefleksikan pola-pola global, di mana situs warisan budaya kerap berada dalam tekanan akibat tarik-menarik antara eksploitasi ekonomi dan pelestarian historis.

Lebih luas lagi, kerusakan situs warisan dunia akibat tekanan ekonomi dan tata kelola yang lemah telah menjadi fenomena global. Di Peru, Machu Picchu menghadapi risiko besar dari overtourism dan degradasi lingkungan yang dibangun tanpa memperhatikan daya dukung situs hingga pemerintah setempat terpaksa membatasi jumlah pengunjung. UNESCO bahkan sempat mempertimbangkan pencabutan statusnya sebagai warisan dunia karena erosi dan kerusakan fisik yang tak terkendali. Tembok Besar China juga mengalami kerusakan karena eksploitasi wisata massal dan pembangunan yang mengabaikan konservasi, sementara 35 situs warisan dunia di Meksiko mengalami degradasi signifikan akibat overcrowding dan lemahnya integrasi tata kelola. Pengalaman-pengalaman ini menunjukkan bahwa tanpa kebijakan yang holistik dan berpihak pada pelestarian, status warisan dunia pun tidak menjamin kelangsungan sebuah situs. Sebagaimana dicatat oleh UNESCO (2023), keutuhan dan keaslian lanskap budaya merupakan indikator utama kelayakan suatu situs sebagai warisan dunia.
Dalam konteks Candi Muaro Jambi, pendekatan sektoral dan lemahnya penegakan kebijakan konservasi seperti tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya serta Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (KSKN) Candi Muaro Jambi menunjukkan defisit koordinasi antarinstansi. Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 135/M/2023 bahkan secara eksplisit membatasi aktivitas industri di kawasan ini. Namun implementasinya masih lemah.
Oleh karena itu, pelestarian Candi Muaro Jambi harus diletakkan dalam kerangka kebijakan strategis nasional yang berbasis tata ruang konservasi dan pelibatan multipihak. Pemerintah daerah, kementerian teknis, akademisi, komunitas adat, dan sektor swasta perlu membentuk model kolaborasi yang inklusif, berbasis data, dan berlandaskan kearifan lokal. Di sisi lain, pengembangan ekonomi alternatif melalui pariwisata sejarah, pendidikan budaya, dan ekowisata berbasis komunitas harus dijadikan prioritas dalam menciptakan keseimbangan antara pelestarian dan pembangunan.
Memastikan eksistensi berkelanjutan Candi Muaro Jambi bukan sekadar upaya konservasi artefak arkeologis masa lalu, melainkan merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk merawat memori kolektif bangsa serta menjamin keberlanjutan identitas budaya Indonesia. Tantangan pelestarian tidak semata terbatas pada isu-isu teknis seperti pengelolaan sampah, keterbatasan lahan parkir, atau lemahnya strategi branding, tetapi juga mencakup persoalan mendasar mengenai keberlanjutan eksistensi situs ini sebagai ruang budaya hidup yang mampu beradaptasi dalam dinamika pembangunan modern. Tanpa reformulasi visi pembangunan yang berorientasi jangka panjang dan berbasis pada prinsip-prinsip integrasi lintas sektor serta keberpihakan terhadap nilai-nilai historis, kita berisiko kehilangan bukan hanya satu entitas arkeologis, tetapi juga narasi kebudayaan yang menjadi fondasi kebangsaan.

**Penulis adalah Akademisi UIN STS Jambi