Penculikan Anak: Tren Jaringan Digital dan Kejahatan Global
Oleh: Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.Pd**
Pendahuluan
Maraknya berita penculikan anak belakangan ini seakan membuka mata kita pada fakta yang menyedihkan: anak-anak kita semakin rentan. Fenomena ini bukan lagi sekadar modus kejahatan lokal, tetapi cerminan dari jaringan kejahatan global yang beroperasi hingga ke pelosok negeri.

Urgensi masalah ini disorot tajam oleh kasus terbaru, yakni penculikan Balita Bilqis (4) dari Makassar yang ditemukan di Kabupaten Merangin, Jambi, pada November 2025. Perjalanan Bilqis yang melintasi tiga pulau sejauh 2.611 kilometer (JambiLINK.id, 2025) membuktikan bahwa kejahatan ini telah menjadi bisnis gelap internasional yang sangat terorganisir. Kasus ini juga mengungkap bahwa pelaku telah menjual 9 bayi dan 1 anak lain melalui media sosial (detikNews, 2025).
Di tengah ancaman ini, Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) diuji ketajamannya. Jika kejahatan terencana ini marak di pusat-pusat keramaian kota, bukankah ini gambaran nyata bahwa kota kita belum sepenuhnya ramah anak? Kota ramah anak harus menjamin keamanan fisik dan psikis mereka, membebaskan mereka dari bayang-bayang jaringan kriminal.
Studi menunjukkan, total 2.057 kasus perlindungan anak pada tahun 2024 (Medcom.id, 2025) adalah alarm keras yang harus dijawab oleh seluruh pemangku kebijakan.
Teori-teori Modern yang Jadi Modus Penculikan Anak

Kejahatan penculikan didorong oleh motif yang kompleks dan sistemik, dilihat melalui lensa teori pilihan rasional, di mana pelaku melihat anak sebagai ‘komoditas’ bernilai tinggi (Clark, 2016). Modus operandi kini sangat mengandalkan manipulasi dan teknologi:
- Model Perdagangan Orang (TPPO) Estafet: Kasus Bilqis menegaskan modus ini, di mana korban diperjualbelikan secara estafet dari harga awal jutaan hingga puluhan juta rupiah (detikNews, 2025). Modus ini murni motif ekonomi, terkait erat dengan sindikat adopsi ilegal dan eksploitasi seksual anak.
- Model Digital (Cyber-Grooming): “Tren kejahatan terhadap anak saat ini sangat bergantung pada teknologi digital” (Suryani, 2016). Pelaku memanfaatkan media sosial dan aplikasi chat untuk menawarkan dan menjual korban. Kasus kejahatan digital terhadap 41 anak pada 2024 (Medcom.id, 2025) menunjukkan kerentanan ini.
- Model Sindikat Medis: Anak-anak diculik untuk diambil organ vitalnya dan dijual kepada jaringan transplantasi gelap. “Permintaan pasar gelap untuk organ anak memiliki harga fantastis” (Shepard, 2022), menjadikannya modus menggiurkan bagi sindikat internasional.
- Modus Penyamaran dan Manipulasi Emosional: Pelaku menggunakan penyamaran yang dipercaya, seperti ojek online, atau berdalih orang tua korban kecelakaan (Tribratanews Polri, 2024). Modus ini mengeksploitasi kerentanan psikologis anak.
Analisis Kerentanan Ruang Anak: Waspada di Rumah hingga Ruang Publik
Penculikan dapat terjadi di mana saja, menuntut pengawasan berlapis. Menurut Teori Aktivitas Rutin (Routine Activity Theory), kejahatan terjadi ketika ada tiga elemen bertemu: Pelaku yang Termotivasi, Target yang Cocok, dan Absennya Penjaga yang Kompeten (Cohen & Felson, 1979). Kerentanan terjadi di semua ruang anak:
- Di Rumah dan Sekolah: Ini adalah safe zone yang paling rentan jika pengawasan lengah. Pelaku sering beroperasi di lingkungan dekat (KompasTV, 2025). Sekolah harus menerapkan sistem one-gate dan verifikasi penjemputan yang ketat, mengeliminasi celah bagi orang asing.
- Di Masyarakat, Mall, Taman, dan Tempat Hiburan: Ruang publik dianggap sebagai hotspot kejahatan. Di tempat ini, pengawasan orang tua sering terpecah fokus. Anak yang bermain di taman, seperti kasus Bilqis (JambiLINK.id, 2025), adalah contoh bagaimana kerentanan ruang publik dimanfaatkan pelaku.
Pengawasan berbasis komunitas (Community-based Surveillance) yang didukung teknologi (CCTV) harus menjamin tidak adanya absennya penjaga yang kompeten di ruang publik (Pramono, 2021).

Jaringan Global: Peran Negara Penadah dan Tantangan Hukum
Penculikan anak adalah rantai kejahatan terorganisir. Negara tujuan (penadah) tersebar luas secara internasional:
Negara Penadah: Negara tujuan penculikan, terutama untuk tujuan adopsi ilegal atau perdagangan organ, terbagi luas:
- Asia: Negara maju seperti Singapura dan Malaysia sering menjadi tujuan sindikat adopsi ilegal (SindoNews, 2025; Hidayatullah & Melisa, 2022).
- Eropa dan Amerika: Negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Utara dengan tingkat permintaan adopsi bayi/balita yang tinggi sering menjadi target akhir jaringan. Prosedur adopsi resmi yang ketat mendorong demand terhadap pasar gelap ini (Newman, 2017).
Tantangan Hukum Lintas Batas: Keberhasilan penangkapan empat tersangka TPPO dalam kasus Bilqis (detikNews, 2025) menunjukkan respons cepat Polri, namun tantangan hukum lintas batas tetap besar.

“Pembuktian kejahatan lintas negara memerlukan koordinasi intelijen dan hukum yang cepat, yang seringkali gagal karena hambatan politik dan teknis” (Piper, 2015).
Penguatan UU TPPO harus dimaksimalkan karena “perluasan definisi kejahatan dan penjangkauan jaringan hingga ke akar-akarnya masih menjadi pekerjaan rumah besar” (Sulistiyo, 2020).
Konsepsi dan Solusi: Kota Ramah Anak sebagai Benteng Proteksi
Konsep Kota Layak Anak (KLA) harus dijiwai dengan implementasi proteksi yang terstruktur. Kota ramah anak adalah kota yang tidak hanya punya fasilitas, tapi juga punya sistem proteksi yang melibatkan pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat (DPR RI, 2023). Solusi untuk memutus rantai jaringan penculikan anak memerlukan pendekatan holistik:

- Proteksi Digital Berlapis: Mengedukasi orang tua dan anak tentang bahaya cyber-grooming dan menerapkan pengawasan ketat terhadap komunikasi anak secara daring.
- Transparansi Adopsi: Implementasi peraturan adopsi yang sah, seperti PP No. 54 Tahun 2007, harus diintensifkan untuk menutup celah yang dieksploitasi oleh jaringan TPPO (DPR RI, 2023).
- Penguatan Komunitas dan Ruang: Penerapan model pengawasan berlapis di semua ruang anak, mulai dari rumah, sekolah, hingga ruang publik, melibatkan peran RT/RW dan komunitas pengawas.
Penutup
Penculikan anak adalah isu yang tak bisa lagi dilihat secara parsial; ia adalah tren jaringan kejahatan global yang beroperasi secara dingin dan sistemik, seperti yang disorot kasus Bilqis.
Solusinya memerlukan pendekatan holistik: penguatan regulasi, implementasi konsep Kota Layak Anak yang lebih serius, dan pemutusan mata rantai jaringan kejahatan mulai dari mafia lokal hingga negara penadah di Asia, Eropa, dan Amerika. Perlindungan anak adalah investasi terbaik bangsa, dan mewujudkan kota yang benar-benar protektif adalah kunci untuk memenangkan pertarungan melawan jaringan kejahatan ini.
Referensi

- Budi, S. (2020). Globalisasi Kejahatan dan Perlindungan Anak Indonesia.
- Clark, E. (2016). The Role of ‘Rational Choice’ in Child Exploitation Syndicates.
- Cohen, L. E., & Felson, M. (1979). Social Change and Crime Rate Trends: A Routine Activity Approach.
- Dewi, A. S. (2018). Anak dan Kota: Konsep dan Implementasi Kota Ramah Anak.
- Latif, M. (2021). Teori Kriminologi Modern dan Kekerasan Terhadap Anak.
- Moleong, L. J. (2019). Etika Digital dan Kejahatan Cyber-Grooming.
- Newman, A. (2017). Children Trafficking: The Global Market for Innocence.
- Piper, C. (2015). International Kidnapping: Law, Crime, and Justice.
- Shepard, C. (2022). The Organ Trade: Black Markets and Human Exploitation.
- Suryani, D. (2016). Hukum Perlindungan Anak dan Upaya Pencegahan Penculikan Lintas Batas. Jurnal, Laporan & Sumber Berita Kredibel.
- detikNews. (2024). Modus Penculikan Anak Berkedok Ojol di Tangsel dan Imbauan Polisi.
- detikNews. (2025). Pengakuan Pelaku Kasus Bilqis: Sudah Jual 9 Bayi dan 1 Anak Lain.
- Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). (2023). Perlindungan Hak Anak dari Perdagangan Bayi Berkedok Adopsi.
- Hidayatullah, M., & Melisa, D. (2022). Analisis Hukum Kasus Perdagangan Orang dan Eksploitasi Ekonomi di Indonesia. Journal Locus.
- JambiLINK.id. (2025). Kronologi Penculikan Balita Bilqis di Makassar Ditemukan di Merangin Jambi.
- KompasTV. (2025). Penculikan Anak di Jaktim, Pelaku Sewa Kontrakan di Sebelah Rumah Korban.
- Medcom.id. (2025). KPAI Catat 2.057 Kasus Perlindungan Anak di Indonesia Sepanjang 2024.
- Pramono, A. (2021). Tantangan Penerapan Konsep Kota Layak Anak di Negara Berkembang. Jurnal Tata Kota dan Wilayah.
- SindoNews. (2025). Kronologi Lengkap Kasus Perdagangan Bayi Asal Jabar ke Singapura.
- Sulistiyo, J. (2020). Analisis Kelemahan Sistem Hukum dalam Membongkar Jaringan Mafia Penculikan Anak. Jurnal Hukum Pidana Nasional.
**Penulis adalah Guru Besar UIN STS Jambi
Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya
Join now





